Jumat, 23 November 2012

Studi Agama: Bidang Agama, Budaya dan Peradaban; Kesatuan (unity) dan Keragaman (diversity) dalam Islam



Karakteristik ajaran Islam sebagai bidang Agama,
Budaya Dan Peradaban; Kesatuan (unity) dan
Keragaman (diversity) dalam Islam

Oleh :
N A S R U L L A H
A.    Latar Belakang
Islam memiliki karakteristik yang berbeda-beda dalam berbagai bidang, baik dalam Agama, Budaya, dan Peradaban. Perbedaan karaktristik dalam Islam menunjukan keragaman yang luar biasa, akan tetapi Islam mempunyai konsepsi yang baik dan bagus karena memiliki jiwa persatuan umat (rahmatan lil ‘alamiin).
Karakteristik ajaran Islam dalam bidang agama disamping mengakui adanya Pluralisme sebagai suatu pernyataan, juga mengakui adanya universatisme, yakni mengajarkan kepercayaan kepada Tuhan dan hari akhir, menyuruh berbuat baik dan mengajak pada keselamatan. Dan ajaran Islam dapat dikenal melalui konsepsinya dalam bidang ibadah sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah dan mentaati segala perintah-Nya menjauhi segala larangan-Nya dan mengamalkan segala yang di izinkan-Nya. Dengan demikian, karakteristik agama islam dalam visi keagamaannya bersifat toleran, pemaaf, tidak memaksakan, dan saling menghargai serta misi ajaran Islam itu sendiri yang sejalan dengan tugas penciptaan manusia sebagai makhluk yang hanya diperintahkan agar beribadah kepada-Nya[1].
Dapatlah dipahami bahwa Islam sebagai agama yang memiliki banyak dimensi, yaitu mulai dimensi keimanan, akal pikiran, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, sampai pada kehidupan rumah tangga dan masih banyak lagi. Untuk memahami berbagai dimensi ajaran Islam tersebut jelas memerlukan berbagai pendekatan yang digali dari berbagai ilmu, dalam al-Quran yang merupakan sumber ajaran Islam.
Selama ini kita sudah mengenal Islam, tetapi Islam dalam potret yang bagaimanakah yang kita kenal itu, tampaknya masih merupakan suatu persoalan yang perlu didiskusikan lebih lanjut. Misalnya mengenal Islam dalam potret yang ditampilkan Iqbal dengan nuansa filosofis dan sufistiknya, Islam yang ditampilkan Fazlur Rahman bernuansa historis dan filosofis. Demikian juga, Islam yang ditampilkan pemikir-pemikir dari Iran seperti Ali Syari'ati, Sayyed Hussein Nasr, Murthada Muthahhari. Para pemikir Islam dari Iran ini terkesan banyak menguasai pemikiran filsafat modern serta ilmu-ilmu sosial yang berasal dari Barat. Mereka telah menunjukkan sisi kelemahan dari berbagai pemikiran filsafat modern dan ilmu sosial dari Barat, melalui kritiknya yang akurat serta solusi yang ditawarkannya dari Islam yang dibangun dari pendekatan filosofis sufistik.
Selanjutnya, di Indonesia kita mengenal pemikiran Islam dari Harun Nasution yang banyak menggunakan pendekatan filosofis dan historis se­bagai acuannya. Dalam pada itu muncul pula H.M.Rasyidi melalui karyanya berjudul Kritik Atas lslam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya karangan Harun Nasution. Melalui pendekatan normatif legalistik, H.M.Rasyidi melihat bahwa potret Islam yang ditampilkan Harun Nasution di nilai kurang menunjukkan Islam sebagai yang di kehendaki al-Qur’an dan Hadits[2]. Hal ini bukan hanya karena lebarnya jurang perbedaan pendapat antara para pemikir Islam, tetapi merupakan suatu rangkaian pemikiran para tokoh yang mengkaji Islam dengan menggunakan pendekatanya masing-masing sesuai dengan dsiplin ilmu. Dengan demikian karakteristik Islam memiliki konsepsi yang khas dan dapat dikenali dengan berbagai bidang ilmunya.
Dari pendapat para tokoh di atas, dapat diketahui bahwa Islam memiliki karakteristik yang khas yang dapat dikenali melalui konsepsinya dalam berbagai bidang, seperti bidang Agama, Budaya, dan Peradaban;  Kesatuan (Unity) dan Keragaman (Diversity) dalam Islam sebagai sebuah disiplin ilmu. Konsepsi Islam dalam berbagai bidang yang menjadi karakteristiknya itu dapat dikemukakan pada bab selanjutnya.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah  sebagi berikut :
1.      Bagaimanakah karakteristik ajaran Islam sebagai bidang Agama?
2.      Bagaimanakah karakteristik ajaran Islam sebagai bidang Budaya?
3.      Bagaimanakah karakteristik ajaran Islam sebagai bidang Peradaban; kesatuan (unity) dan keragaman (diversity) dalam Islam?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Bidang Agama
Menetapkan makna agama tidak kalah pentingnya. Banyak sekali tulisan tentang bidang ini karena manusia sangat memperhatikan bidang ini, yang dasarnya bersifat konversional. Sering kali agama dipandang sebagai respon manusia terhadap kekuatan alam yang besar dan tak dapat dikontrol, seperti ‘penyakit bahasa’, munculnya kekuatan dan dorongan terhadap keamanan. Pembahasan tentang topik ini berlanjut seperti yang disaksikan pada dasar baru atas pandangan lama bahwa agama adalah keyakinan terhadap dewa-dewa (Spiro,1966)[3].
Agama Islam memiliki karakteristik yang khusus dan sempurna. Nama Islam menurut Rasyid Ridla adalah yang paling sesuai dengan untuk nama agama yang benar sesuai dengan arti-arti dalam perkataan bahasa Arab, dan yang lebih  tegas serta terang adalah arti bersih dari segala sesuatu yang mengotorinya[4]. Dalam bidang agama, Islam memiliki berbagai karakteristik yang berbeda-beda dalam pemahaman keagamaan.
Melalui karyanya berjudul Islam Doktrin dan Peradaban, Nurcholis Madjid banyak berbicara tentang karakteristik ajaran Islam dalam bidang agama. Menurutnya, bahwa dalam bidang agama Islam mengakui adanya pluralisme. Pluralisme menurut Nurcholis adalah sebuah aturan Tuhan (Sunnah Allah) yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari. Dan Islam adalah agama yang kitab sucinya dengan tegas mengakui hak agama lain, kecuali yang berdasarkan paganisme dan syirik, untuk hidup dan menjalankan ajaran masing-masing dengan penuh kesungguhan. Kemudian pengakuan akan hak agama-agama lain dengan sendirinya merupakan dasar paham kemajemukan sosial budaya dan agama, sebagai ketetapan Tuhan yang tidak berubah-ubah[5].  Karakteristik agama Islam dalam visi keagamaannya bersifat toleran, pemaaf, tidak memaksakan, dan saling menghargai karena dalm pluralitas agama tersebut terdapat unsur kesamaan yaitu pengabdian pada Allah SWT.
Memang dan seharusnya tidak perlu mengherankan, bahwa Islam selaku agama besar terakhir, mengklaim sebagai agama yang memuncaki proses pertumbuhan dan perkembangan agama-agama dalam garis tersebut. Tetapi harus diingat, bahwa justru penyelesaian terakhir yang diberikan Islam sebagai agama terakhir untuk persoalan keagamaan itu ialah ajaran pengakuan akan hak agama-agama itu untuk berada dan dilaksanakan. Karena itu agama tidak boleh dipaksakan, sebagaimana dalam firman Allah SWT.
Yang Artinya :
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui[6].

Firman Allah SWT di atas, menjelaskan bahwa di dalam agama tidak ada paksaan. Tetapi agama yang benar di sisi-Nya adalah agama Islam karena barang siapa yang mendustakan agama-Nya, maka sesungguhnya dia telah ingkar dan akan mendapat balasan yang setimpa dengan perbuatan di akhirat nanti. Hal ini menunjukan bahwa telah menjelaskan Agama yang akan di rihdoi-Nya adalah Agama Islam.
Dengan demikian sebagai orang Islam tidak dibenarkan untuk taklid buta dalam mengamalkan ajarannya. Islam mengajarkan manusia terus menggunakan akal untuk memahami Islam secara benar sesuai dengan proposisi dan wilayah kemampuan dan kebolehan penggunaan akal. Dengan pemahaman yang benar di harapkan keyakinan akan ajaran Islam menjadi tambah bulat, sekaligus akan mengantarkan umat Islam pada semangat melaksanakan Islam sesuai dengan filosofi dan tujuan hakiki dari ajaran Islam itu.
B.     Bidang Budaya
Budaya adalah hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengarahkan segenap potensi batin yang dimiliki, akan tetapi budaya juga memiliki nilai kebudayaan dalam kehidupan umat manusia. Di dalam kebudayan terdapat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat istidat dan sebagainya. Dengan demikian kebudayaan merupakan suatu hasil ciptaan manusia untuk mewujudkan segala aktifitas sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebudayaan dapat pula digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada cara pandangan manusia yang berdasarkan pengalamannya. Dalam kehidupan masyarakat Islam identik dengan pola kehidupan.
Ajaran Islam dalam bidang budaya adalah sesuatu memiliki sikap terbuka kepada semua umat manusia, sehingga ajaran Islam tidak memaksa untuk memeluk agama Islam itu sendiri. Namun apabila umat Islam mengingkari ajaran-ajaran agama Islam akan mendapat konsekwensi kepada Allah SWT, hal ini sebagaimana telah diuraikan pada sub tema (tentang ajaran agama Islam) di atas.
Karakteristik ajaran Islam dalam bidang ilmu dan kebudayaan bersikap terbuka, akomodatif, tetapi selektif. Dari satu segi Islam terbuka dan akomodatif untuk menerima berbagai masukan dari luar, tetapi bersamaan dengan itu Islam juga selektif, yakni tidak begitu saja menerima seluruh jenis ilmu dan kebudayaan, melainkan ilmu dan kebudayaan yang sejalan dengan Islam[7].  
Di dalam Islam mengajarkan bagi para pemeluknya untuk bersikap saling terbuka. Selain itu mengajarkan bahwa Islam tidak menerima seluruh jenis dan kebudayaan tanpa adanya selektif atau berdasarkan pemilihan terlebih dahulu. Ilmu dan kebudayaan merupakan satu kesatuan terrangkai dalam Islam. Dengan demikian Islam mendorong manusia agar memiliki ilmu pengetahuan dengan cara menggunakan akalnya untuk berpikir, merenung, dan sebagainya.
Kebudayaan akan terus berkembang, tidak akan berhenti masih ada kehidupan manusia. Segala sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas dan kreativitas manusia baik dalam konteks hubungan sesamanya maupun dengan alam lingkungan, akan selalu berkaitan[8].
Hal ini hubungan antara manusia dengan alam lingkungan yang berarti manusia adalah makhluk budaya dan makhluk sosial karena tidak ada satu manusia pun yang bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Karena manusia memiliki hubungan antara satu dengan lainnya yang tidak bisa terpisah.
Berdasarkan pendapat di atas, dapatlah disimpulkan bahwa karakteristik ajaran Islam sebagai budaya adalah memiliki kecenderungan pada pemeluk ajaran Islam untuk bersikap terbuka dan hubungan manusia dengan yang lain dan saling membutuhkan. Dengan demikian karakteristik ajaran Islam memiliki pranata budaya, sehingga budaya dan kebudayaan merupakan rangkaian kehidupan dan memiliki peradaban yang ada pada Islam itu sendiri. Maka dengan demikian Islam memiliki peradaban yang luas, baik dari segi agama, budaya, peradaban sehingga Islam memiliki sikap keterbukan terhadap sesama pemeluk ajarannya maupun hubungan sosial terhadap kehidupan bermasyarakat secara umum.

C.    Peradaban; Kesatuan (unity) dan Keragaman (diversity)
Selanjutnya, Peradaban Islam memiliki berbagai karakteristik budaya dan keragaman dalam kebudayaan. Dan kebudayaan merupakan ilmu pengetahuan salah satu dimiliki oleh manusia dalam kehidupannya, sehingga kebudayaan mempunyai karakter dalam peradaban Islam berdasarkan pengalaman dan ilmu pengetahuan yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadits.
Peradaban Islam terlahir dari rahim Islam, yaitu visi al-Qur’an yang mencita-citakan terciptanya rahmatan lil ‘alamin. Kebudayaan Islam termanifestasi dalam berbagai aspek kehidupan yang dipersatukan oleh spirit al-Qur’an dan tradisi-tradisi sakral (misalnya pemikiran dan ijma’ ulama)[9]. Islam merupakan agama yang multi aspek, keyakinan Islam memiliki sifat tauhid yang di dalamnya terkandung persoalan-persoalan yang kompleks. Mengenal Islam yang sebenarnya adalah mengenal Islam dari berbagai aspeknya. Adapun aspek-aspek yang ada pada kehidupan umat Islam memiliki dimensi budaya, baik terkait dengan tingkah laku sosial politik, perilaku ekonomi, seni, pola berpakain, pola pendidikan, cara berpikir, jenis makanan hingga idiologi. Kesemuanya merupakan simbolitas dari budaya yang dimiliki oleh umat Islam, maka dengan berberapa aspek tadi mendeskripsikan bahwa Islam sebagai inspirasi dari peradabannya.
Dari aspek-aspek yang kompleks pada kubu Islam, munculnya pemikiran yang berbeda dalam mengkaji aspek, seperti; aspek keagamaan, historis, filosofis dan sosiologis, sehingga Islam memiliki karakteristik ajaran Islam dalam bidang agama, budaya dan peradaban. Akumulasi dari berbagai budaya yang diilhami spirit a-Qur’an ini menjadi peradaban Islam yang besar menjadi peradaban besar masyarakat dunia.
Bila berbicara tentang peradaban Islam tidak terlepas dari sejarah peradaban Islam. Dalam sejarah peradaban Islam, terjadi fluktuasi-fluktuasi peradaban. Pada masing-masing periode memiliki karakteristik yang khas yang membedakannya dengan periode peradaban yang lain. Secara umum, periode peradaban Islam terbagi atas tiga zaman yaitu periode klasik (650-1250), zaman pertengahan (1250-1800) dan zaman modern (1800-sekarang)[10]. Pada periode klasik dimulai dari peradaban Nabi Muhammad SAW, sehingga kepada khulafah Rasyidin dan daulah (dinasti) Bani Umaiyah. Peradaban Islam pada periode ini mengalami puncak kejayaannya pada periode dinasti Bani Abbasiyah. Pada saat periode klasik ini metode berfikir rasional, ilmiah dan filosofis berkembang dengan pesat.
Mulai dari periode Nabi Muhammad SAW sampai pada periode Bani Abbasiyah Islam mendapat kejayaan. Kejayaan Islam ini menunjukkan bahwa Islam memiliki karakteristik kesatuan (unity) pada umatnya. Kesatuan yang dimiliki oleh umat Islam adalah nilai kebersamaannya dan sikap terbuka terhadap sama pemuluk agama (tauhid) sesuai dengan ajaran Islam yang berlandaskan pada sumber al-Qur’an dan al-Hadits.
Dengan demikian dalam agama Islam memiliki keragaman dan perbedaan, pluralisme lebih dari sekadar mengakui pluralitas keragaman dan perbedaan, tetapi aktif merangkai keragaman dan perbedaan itu untuk tujuan sosial yang lebih tinggi, yaitu kebersamaan dalam membangun peradaban. Pengakuan ini mengandaikan penerimaan toleransi aktif terhadap yang lain. Tetapi, pluralisme melebihi toleransi. Pluralisme mengandaikan pengenalan secara mendalam atas yang lain itu, sehingga adanya saling menghargai satu sama lain secara aktif mengisi toleransi itu dengan hal yang lebih konstruktif untuk tujuan yang pertama, yaitu aktif bersama membangun peradaban.

BAB III
KESIMPULAN

A.    Simpulan
Dari bab pembahasan di atas, dapatlah simpulkan bahwa karakteristik ajaran Islam sebagai Agama, Budaya dan Peradaban; Kesatuan (unity) dan Keragaman (diversity), sebagai berikut;
1.      Pluralisme merupakan sebuah aturan Tuhan (Sunnah Allah) yang tidak akan berubah. Islam adalah agama yang kitab sucinya dengan tegas mengakui hak agama lain, kecuali yang berdasarkan paganisme dan syirik, untuk hidup dan menjalankan ajaran masing-masing dengan penuh kesungguhan. Karena memiliki karakteristik agama Islam dalam tujuan keagamaannya bersifat toleran, pemaaf, tidak memaksakan, dan saling menghargai karena dalam pluralitas agama tersebut terdapat unsur kesamaan yaitu pengabdian pada Allah SWT.
2.      Karakteristik ajaran Islam sebagai budaya adalah memiliki kecenderungan pada pemeluk ajaran Islam untuk bersikap terbuka dan hubungan manusia dengan yang lain dan saling membutuhkan. Disamping itu, karakteristik ajaran Islam dalam bidang ilmu dan kebudayaan bersikap terbuka, akomodatif, tetapi selektif.
3.      Agama Islam memiliki keragaman (diversity) dan perbedaan, pluralisme lebih dari sekadar mengakui pluralitas keragaman (diversity) dan perbedaan, tetapi aktif merangkai keragaman dan perbedaan itu untuk tujuan sosial yang lebih tinggi, yaitu kebersamaan dalam membangun peradaban. Dengan sebagai keragaman dan peradaban dalam kubu Islam, namun Islam tetap mempunyai semangat perasatuan dan kesatuan (unity) umat Islamnya (Islam adalah rahmatan lil ‘alamin).
B.     Saran-saran
Sebagai penutup dari makalah ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang ikut andil dalam proses penulisan makalah ini hingga akhir. Sebagai manusia biasanya tentunya makalah ini masih banyak kekurangannya, untuk itu segala kritikan yang konstruktif penulis terima dengan senang hati demi perbaikan makalah ini selanjutnya. Akhirnya semoga makalah  ini dapat memberi manfaat kepada kita semua.



DAFTAR RUJUKAN


Buku;
Ajat Sudrajat, dkk, 2008. Din al-Islam: Pendidikan Agama Islam Di Perguruan Tinggi Umum. Yogyakarta: UNY Press

Abuddin Nata, 2011. Metodologi Studi Islam. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada

Depag RI, 2004. Al-Qur’an dan Terjemahan: Al-Jumanul ‘Ali Seuntai Mutiara Yang Maha Luhur. CV. Penerbit J-ART

Syamsul Arifin, 2009. Studi Agama : Perspektif Sosiologi dan Isu-isu Kontemporer.  Malang : UMM Press

Syamsul Bakri, 2011. Peta Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Fajar Media Press

Internet;




[2] Abuddin Nata. Metodologi Studi Islam. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2011, hlm 77-78
[3] Syamsul Arifin. Studi Agama : Perspektif Sosiologi dan Isu-isu Kontemporer.  Malang : UMM Press, 2009, hlm, 6
[4] Ajat Sudrajat, dkk. Din al-Islam: Pendidikan Agama Islam Di Perguruan Tinggi Umum. Yogyakarta: UNY Press, 2008, hlm, 35
[5] Abuddin Nata. hlm, 80
[6] Depag RI. Al-Qur’an dan Terjemahan: Al-Jumanul ‘Ali Seuntai Mutiara Yang Maha Luhur. CV. Penerbit J-ART, 2004, QS Al-Baqarah ayat 256.
[7] Abuddin Nata. hlm, 85
[8] Ajat Sudrajat, dkk. hlm 225
[9] Syamsul Bakri. Peta Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011, hlm, 5
[10] Syamsul Bakri, hlm 10

Jumat, 26 Oktober 2012

Perkembangan Pemikiran Islam


Pemikiran Islam Zaman Nabi, Sahabat dan Tabi’in
Oleh : Nasrullah


A.    Pendahuluan 
Pada zaman Nabi Muhammad saw, pemikiran Islam masih murni karena mendasar pada Rasulullah saw. Pada periode ini tidak ada perselisihan pendapat dalam dasar-dasar ataupun kaidah-kaidah teologis. Pemikiran ini kemudian disebarkan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya. Pemikiran pada fase ini masih murni, hal ini dikarenakan pemikiran Islam tersebut hanya bersumber pada al-Qur’an dan Rasulullah, pemikiran Islam fase ini disandarkan pada kemurnian akhlak Rasulullah dan utamanya wahyu. Jadi tidak ada pertentangan, karena di setiap persoalan langsung diajukan atau diserahkan kepada Rasulullah Saw. Sehingga Nabi Muhammad Saw menjadi sentral ilmu pengetahuan.
Setelah Nabi Muhammad saw wafat, periode ini perkembangan pemikiran Teologi dalam Islam dapat dibagi dalam 4 periode: (1) Khulafa al-Rasyidin sebelum Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan juga belum terjadi perbedaan pendapat dalam teologi Islam, hal ini disebabkan oleh praktek teologi Islam langsung didasarkan pada al-Qur’an dan Hadis tanpa pentakwilan atas nash-nashnya. (2) Khalifah ‘Utsman terjadi perpecahan politik dalam tubuh umat Islam, sehingga berdampak pada penafsiran Alqur’an dan Hadis menurut selera masing-masing golongan, bahkan sebagian melakukan pemalsuan terhadap Hadis untuk mendukung keberadaan dan kebenaran kelompok tertentu. (3) Bani Umayah perluasan wilayah Islam membawa konsekwensi penyerapan tradisi-tradisi non Islam dalam budaya dan peradaban Islam. Berbagai aliran yang muncul pada masa akhir Khulafa al-Rasyidin semakin memuncak. Pada masa ini segolongan umat Islam telah berbeda pendapat tentang qadar dan istiÅ£a‘ah. Aliran-aliran yang muncul dalam periode ini antara lain: Qadariyah, Jabariah, Khawarij, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan Mu’tazilah. (4) Bani ‘Abbas terjadi usaha-usaha ilmiah yang antara lain adalah penterjemahan filsafat Yunani kedalam bahasa Arab[1].
Setelah Bani ‘Abbas pengikut-pengikut Abu al-Hasan al-Asy‘ari mengintegrasikan filsafat dan kalam dalam pandangan-pandangan mereka seperti al-Baidawi dalam kitab al-Å¢awali dan ‘Abduddin al-Ijy dengan kitabnya al-Mawaqif  keadaan ini berlangsung sampai awal abad ke 8 Hijriah yakni saat Taqiyuddin IbnuTaimiyah dari Damaskus menentang urusan yang berlebih- lebihan dari pihak-pihak yang mencampur baurkan filsafat dengan kalam, atau menentang usaha-usaha yang memasukkan prinsip-prinsip filsafat dalam aqidah Islamiyah.
Ibnu Taimiyah dikenal sebagai pembela aliran salaf (sahabat, tabi’in, dan imam-imam mujtahidin) dan membantah pendirian-pendirian golongan-golongan al-Asy’ariyah dan lain-lain. Jalan yang ditempuh oleh Ibnu Taimiyah ini dilanjutkan oleh seorang muridnya yang terkemuka, yaitu Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Perkembangan pemikiran teologi Islam kemudian mengalami kefakuman, yang ada hanya terbatas upaya-upaya penjelasan ma’na-ma’na lafadz dan ibarat-ibarat dari kitab-kitab peninggalan lama.
Gerakan permurnian teologi Islam kemudian mengalami kemajuan kembali ditangan Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani yang kemudian dilanjutkan oleh al-Said Rasyid Ridla. Usaha-usaha mereka kemudian berhasil membangun kembali ilmu-ilmu agama dan timbullah jiwa baru yang cenderung kepada mempelajari kitab-kitab Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya.
B.     Kemanusiaan dan Kenabian Muhammad SAW
Nabi Muhammad saw adalah anggota Bani Hasyim, suatu kabilah yang kurang berkuasa dalam suku Quraisy.  Nabi Muhammad saw lahir pada keluarga yang terhormat dan relatif miskin. Ayahnya bernama Abdullah bin Abdul Muthalib, seorang kepala suku Quraisy yang benar pengaruhnya. Ibunya adalah Aminah Binti Wahab dari Bani Zuhrah. Tahun kelahiran Nabi Muhammad itu pada tanggal 12 Rabiulawal dikenal dengan nama tahun gajah atau tanggal 20 April tahun 570 M[2]. Kenapa dinamakan demikian, karena pada tahun itu pasukan Abraham dan kerajaan Habsyi (Ethopia), dengan menunggang gajah menyerbu Mekkah untuk menghacurkan Ka’bah. Sehingga tahun kelahiran Nabi Muhammad saw dikenal dengan sebutan tahun gajah.
Muhammad lahir dalam keadaan yatim karena ayahnya setelah meninggal dunia sejak tiga bulan beliau menikahi Aminah, kemudian Muhammad dibesarkan oleh ibu pengasuh Halimah Sa’diyah, dalam asuhannyalah Muhammad dibesarkan selama usia empat tahun. Setelah itu, kurang lebih dari dua tahun beliau diasuh oleh ibu kandungnya. Beberapa tahun silam lebih kurang enam tahun beliau menjadi yatim piatu.
Dalam usai muda, Muhammad hidup sebagai pengembala kambing keluarganya dan kambing penduduk Mekkah. Melalui kegiatan-kegiatan pengembalaan ini beliau menemukan tempat untuk berpikir dan merenung. Pemikiran dan perenungan ini membuatnya jauh dari segala pemikiran nafsu duniawi. Sehingga ia terhindar dari berbagai macam noda, karena sejak itu ia sudah dijuluki al-amin, orang yang terpercaya.
Menjelang usianya empat puluh tahun, dia memisahkan diri dari kegaulauan masyarakat, berkontemplasi ke gua Hira, tidak jauh di Utara Mekkah. Muhammad sedang berada dalam Gua Hira pada hari Jumat 17 Ramadan tahun ketiga belas sebelum hijrah bertepatan dengan tahun 610 M. Malaikat Jibril muncul dihadapannya, menyampaikan wahyu Allah yang pertama, sebagaimana Firman Allah: (QS. Al-‘Alaq : 1-5).
Artinya :
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya[3].

Setelah wahyu itu datang, Jibril tidak muncul lagi untuk beberapa lama, sementara Nabi Muhammad menantikannya dan selalu datang ke gua Hira’. Dalam keadaan menanti itulah rutun wahyu yang membawa perintah kepadanya. Sebagaimana firman Allah: (QS. al-Muddatsitsir: 1-7).
Artinya :
Hai orang yang berkemul (berselimut), Bangunlah, lalu berilah peringatan, Dan Tuhanmu agungkanlah  Dan pakaianmu bersihkanlah, Dan perbuatan dosa tinggalkanlah, Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.[4].
Dengan turunya perintah itu, mulailah Rasulullah berdakwah. Pertama-tama, beliau melakukannya diam-diam dilingkungan sendiri dan di kalangan rekan-rekannya. Karena itulah, orang yang pertama kali menerima dakwahnya adalah keluarga dan sahabat dekatnya[5]. Setelah bebrapa lama dakwah tersebut dilaksanakan secara individual turunlah perintah agar Nabi menjalankan dakwah secara terbuka.
Ketika Rasulullah tampil di tengah-tengah kehidupan manusia, beliau langsung memulai proyek perbaikan baru, untuk memperbaiki kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Untuk itu Rasulullah Saw selalu berdoa, “Ya Allah perbaikilah agamaku yang merupakan inti urusanku, perbaikilah duniaku yang merupakan tempat kehidupanku, dan perbaikilah akhiratku yang merupakan tempat kembaliku[6].”
Rasulullah saw memberikan kepada kita contoh-contoh mulia, baik sebagai pemuda Islam yang lurus perilakunya dan terpercaya di antara kaum dan juga kerabatnya, ataupun sebagai da’i kepada Allah dengan hikmah dan nasehat yang baik, yang mengerahkan segala kemampuan untuk menyampaikan risalahnya. Juga sebagai kepala negara yang mengatur segala urusan dengan cerdas dan bijaksana, sebagai suami teladan dan seorang ayah yang penuh kasih sayang, sebagai panglima perang ang mahir, sebagai negarawan yang pandai dan jujur, dan sebagai Muslim secara keseluruhan (kaffah) yang dapat melakukan secara imbang antara kewajiban beribadah kepada Allah dan bergaul dengan keluarga dan sahabatnya dengan baik.
C.    Zaman Perintisan Islam
Islam dimulai dengan ajaran Muhammad saw, di tempat kelahirannya Mekkah; sifat-sifat yang menjadi ciri agama baru ini dikembangkan setelah beliau pindah ke Madinah dalam tahun 622 M. Sebelumnya beliau wafat sepuluh tahun kemudian, telah jelaslah sudah bahwa Islam bukannya semata-mata merupakan suatu badan kepercayaan agama pribadi, akan tetapi Islam meliputi pembinaan suatu masyarakat merdeka, dengan sistem sendiri tentang pemerintahan, hukum, dan Lembaga Generasi Muslimin pertama, telah menginsafi bahwa Hijrah adalah satu titik perubahan penting dalam sejarah. Merekalah yang menetapkan tahun 622 M sebagai permulaan takwin Islam baru[7].
Dengan pemerintah yang kuat, cerdas, dan satu kepercayaan yang menggelorakan semangat penganut-penganut dan tentara-tentara dalam waktu yang tidak lama, masyarakat baru ini menguasai seluruh Arabia Barat dan mencari dunia baru untuk ditundukkan.
Kemunduran pada wafat Muhammad saw, gelombang penaklukan bergerak dengan cepat di Arabia bagian Utara dan Timur, berani menyerang kubu-kubu pertahanan di perbatasan kerajaan Romawi Timur di Syirq al-Ardun dan kerajaan Persia di Irak Selatan. Angkatan-angkatan perang kedua kerajaan raksasa ini, karena perang tidak henti-hentinya mereka telah kehabisan kekuatan, dikalahkan satu persatu dalam suatu rangkaian operasi cepat dan cemerlang. Dalam waktu enam tahun sesudah Muhammad saw wafat. Siria dan Irak diharuskan membayar upeti kepada Madinah, dan empat tahun kemudian Mesir digabungkan pada kerajaan Islam baru.
Kemenangan-kemenangan yang mengagumkan tadi, mendahului kemenangan yang lebih besar lagi akan membawa orang Arab dalam waktu kurang dari satu abad ke Maroko, Spanyol, Perancis, pintu-pintu kota Konstantinopel, jauh ke Asia Tengah sampai ke Sungai Indus, membuktikan sifat Islam sebagai suatu kepercayaan kuat, insaf akan harga diri, dan jaya. Sifat ini mengakibatkan pendirian yang tidak kenal menyerah dan memusuhi segala yang ada diluarnya, tetapi menunjukkan toleransi, kesabaran hati yang luas dalam masyarakat, keseganan menuntut orang dari golongan lain, dan kebesaran hati mereka dalam waktu kegelapan.
Pada tahun 660 M. Ibu kota Kerajaan Arab dipindahkan ke Damsyik, tempat kedudukan baru Khalifah Bani Umayah. Sedangkan Madinah tetap merupakan pusat pelajaran agama Islam; pemerintah dan kehidupan umum kerajaan dipengaruhi oleh adat-istiadat Yunani Rumawi Timur. Tingkat pertama saling pengaruh-mempengaruhi dengan peradaban yang lebih tua ini tidak hanya dilambangkan dengan dua buah monumen, yang indah sekali dari zaman Bani Umayahh ialah Mesjid Raya di Damsyik dan Mesjid Al-Aqsa di Darusalam, akan tetapi kemunculan tiba-tiba cara aliran-aliran baru dan pendapat yang berlawanan dengan paham resmi di “propinsi-propinsi baru.” Akibat paling akhir dari pertumbuhan demikian ialah perpecahan antara lembaga-lembaga agama dan duniawi dalam masyarakat Islam. Pembelahan ini merusakkan azas duniawi Bani Umayah, dan ditambah dengan rasa ketidakpuasan para warga negara bukan Arab, dan pecah perang saudara diantara suku, Arab, menyebabkan jatuhnya tahun 750 M.
Dalam hal itu, perselisihan tadi menjelaskan bahwa dalam abad yang lampau sejak wafat Muhammad saw. Kebudayaan agama Islam telah mengalami perkembangan dan konsolidasi yang luar biasa baik, di dalam maupun di luar Arabia. Seorang guru agama di satu pihak menunjukkan perkembangan kebatinan pada tingkat tertinggi. Ia menyatakan inti sari yang penting dan menghidupkan itu dengan kepribadiannya dan keyakinannya sehingga tampak pada penganutnya sebagai wahyu kebenaran.
D.    Berkembangnya Permasalahan Keagamaan
Perkembangan permasalahan keagamaan merupakan permasalahan yang tidak akan henti-hentinya di dunia Islam. Berkemangannya permasalahan keagamaan munculnya perbedaan pemahaman antara kalangan beragama itu sendiri. Pada hal sudah kita ketahui bersama bahwa ajaran-ajaran agama Islam sudah memberi petunjuk kepada jalan yang lurus dan kebaikan, Agama yang akan memberi petunjuk kepada seorang hamba dalam masalah aqidahnya, akhlaknya, hubungan sosialnya, arahan-arahan supaya di tempuh dan permulaan dasar dalam berfikir serta segala macam kegiatan yang akan mengantarkan mereka untuk mencapai manfaat bagi kehidupan dunia dan akhiratnya.
Dan penjelasan bahwa tidak ada cara lain untuk bisa memperbaiki urusan umat manusia dengan perbaikan yang sempurna melainkan harus dengan cara dan metodenya, serta penjelasan bahwa seluruh aturan hukum yang menyelisihi agama Islam tidak akan mungkin bisa berdiri lurus, baik dalam urusan agama maupun dunianya melainkan jika mau mempelajari ajaran-ajaran agama Islam terlebih dahulu.
Ada beberapa faktor yang menjadi penghabat berkembangannya permasalah keagamaan adalah sebagai berikut:
1.      Terdapatnya  masalah-masalah yang tidak ditemukan pada masa Rasulullah. Seperti masalah khilafah; apa syarat-syaratnya, batasan-batasannya? juga orang yang tidak mau berzakat, apakah murtad atau berdosa.
2.      Disamping permasalahan interen seperti murtad tersebut, juga di sebabkan hukum Islam mengalami perkembangan sejalan dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan umat Islam dan seiring dengan perubahan kondisi sosial pada masa itu[8].
Selain itu, dalam berijtihad para sahabat tidak jarang berbeda antara satu dengan yang lain. Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:
1.      Lingkungan tempat mereka hidup dan menetap berbeda-beda. Demikian pula kemaslahatan dan kebutuhan yang menjadi dasar pertimbangan dalam menerapkan hukum bertingkat-tingkat juga, misalnya Abdullah bin Umar yang tinggal dan menetap di Madinah tidak mengalami seperti yang dialami oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan di syam. Demikian juga tidak mengalami seperti apa yang dialami oleh Abdullah bin Mas’ud yang hidup dan menetap di Kuffah.
2.      Perbedaan tingkat pemahaman terhadap bahasa. Ada orang yang paham dengan bahasanya sendiri, istilah-istilah asing yang ada dan cara pemakaiannya, tetapi ada juga yang tidak bisa. Misalnya, yang ditawarkan oleh Umar bin al-Khaththab ketika ia membaca firman Allah dalam khutbahnya, atau Allah akan mengadzab mereka disebabkan mereka menghina (takhawwufin), kemudian Umar bertanya kepada para hadirin tentang makna takhawwifin, “apa pendapat kalian tentang ayat ini dan apa arti takhawwuf itu?” Lalu berdirilah seseorang yang sudah lanjut usia dari kabilah Huzail dan berkata: “ ini bahasa kami dan takhawwuf artinya menghina (tanaqqush)”, Umar berkata, “apakah orang Arab tahu ini dalam sya’ir mereka?” Ia menjawab, “ya”, dan ia pun menyebutkan sebuah bait sya’ir untuk memperkuat ucapannya. Umar berkata: “Jagalah sya’ir kalian dan kalian tidak akan tersesat.” Para Sahabat bertanya: “Apa itu sya’ir (diwan) kami?” Umar menjawab: “Sya’ir Jahiliyah, sebab didalamnya ada penafsiran untuk kitab kalian.”
3.      Perbedaan dalam menafsirkan ayat al-Quran karena kebanyakan al-Quran berisi ayat-ayat dhanni (dalil yang memiliki makna lebih dari satu) sebagaimana firman Allah (QS Al-Baqarah ayat 228). Dalam memahami lafal quru’ yang terdapat didalamnya para sahabat berbeda pendapat mengenai masa tunggu (iddah) wanita yang diceraikan suaminya apakah tiga kali bersih atau tiga kali haid? 
4.      Perbedaan penerimaan hadits karena setiap sahabat memeroleh jumlah hadits yang tidak sama dan sunnah Nabi saw, yang telah tersebar di kalangan umat Islam belum terbukukan dan belum ada consensus untuk menghimpun sunnah dalam satu koleksi yang dijadikan sebagai pedoman bersama[9].
Namun dengan demikian perbedaan tersebut tidak menimbulkan perpecahan di kalangan para sahabat. Perbedaan itu ditanggapi dengan bijaksana. Perbedaan dianggap sebagai sesuatu yang sudah biasa (fitrah) dan rahmat bagi manusia. Hal inilah yang patut kita teladani dalam menyikapi segala perbedaan.
E.     Pembentukan Body Of Knowledge Islam
Bila berbicara tentang pembentukan pengetahuan Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bahkan juga krisis etika dan moral dalam beragama lantas muncul pertanyaan tentang peranan pendidikan agama Islam dalam membentuk etika dan moral. Perkembangan permasalahan tersebut sungguh sangat kompleks, sedangkan tugas pokok pendidikan agama adalah membentuk anak didik memiliki moralitas dan akhlak budi pekerti yang mulia.
Kondisi ini menuntut semua pihak untuk mengambil peran masing-masing guna menyelamatkan generasi muda dan bangsa. Kaum agamawan sebagai penjaga etika dan moral masyarakat di dalamnya guru agama harus diberdayakan agar dapat mengambil peran secara signifikan. Pendidikan agama mempunyai peran penting yang harus ditingkatkan mutu dan relevansinya bagi upaya pembangunan moral bangsa seutuhnya.
Menurut Tobroni, mengatakan bahwa dalam pembentukan body of knowledge Islam, meliputi;
1.      Hakikat Pendidikan Agama Islam;
Pendidikan adalah persoalan yang paling strategis bagi kehidupan manusia baik dalam perspektif individu, masyarakat dan bangsa. Misi utama yang diemban oleh pendidikan Agama Islam tidak lain adalah misi Islam itu sendiri yaitu rahmatan lil’alamin (rahmat bagi seluruh alam) dan membangun akhlak dan peradaban yang agung (al-Hadis).
2.      Pendidiksn sebagai penebar rahmat dan anti kekerasan;
Islam dalam wataknya yang asli adalah anti kekerasan. Islam mengajarkan agar manusia memiliki sikap sosial luhur: pengabdian menggantikan kekuasaan, pelayanan menggantikan dominasi, pengampunan mengganti­kan permusuhan, cinta kasih menggantikan kebencian, derma menggantikan keserakahan, keadilan menggantikan kerusakan, dan kesabaran menggantikan kekerasan.
Watak agama yang asli sebagaimana ditunjukkan oleh Rasulullah ketika beliau hijrah ke Thaif (80 km sebelah tenggara dari Makkah). Sesampai di Thaif Beliau disalahpahami oleh penduduk dan dilempari batu sampai berlumuran darah. Beliau tidak mengutuk mereka melainkan justru mendoakan petunjuk, dan rahmat bagi mereka. Demikian juga ketika terjadi perang Uhud, Rasulullah tidak membenci para pemanah yang tidak setia pada perintah beliau yang mengakibatkan kekalahan, melainkan beliau berlaku lemah lembut dan tetap mengayomi mereka (QS Ali Imran/3:159).
3.      Kajian tentang Etika dan Moral
Kehadiran Islam di muka bumi adalah sebagai pedoman hidup manusia dan untuk memberikan solusi yang tegas terhadap berbagai persoalan kemanusiaan. Salah satu persoalan kemanusiaan yang perlu mendapat perhatian besar dari umat Islam adalah persoalan etika sosial persaudaraan dan perdamaian.
Namun menurut Susanto, tema ini kurang mendapatkan perhatian secara memadai dalam hazanah pemikiran Islam. Dan sekiranya ada, umumnya membahas etika individual, yaitu bagaimana memperbaiki diri dan kepribadian dalam berkata, bersikap, dan berbuat terutama dikaji dalam perspektif  fiqh (Susanto, 2005) dan akhlak tasawuf. Karena itu tema tentang etika sosial persaudaraan dan perdamaian yang dikaji dalam perspektif  filosofis dan sosialisasi serta implementasinya dalam pendidikan menjadi sangat penting. Dalam tulisan ini istilah etika digunakan dalam pengertian sebagai kajian tentang nilai baik dan buruk. ”etika” adalah cabang filsafat yang mengkaji tentang baik dan buruk, sedangkan ”moral” adalah nilai baik atau buruk menurut suatu masyarakat. Dengan kata lain, ”moral” adalah etika terapan.
4.      Islam Agama Etis dan Moralitas
Etika dan moralitas adalah puncak nilai keberagamaan seorang muslim. Hal ini sejalan dengan Hadis Nabi Muhammad SAW yang mengatakan bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan keagungan. Berislam yang tidak membuahkan akhlak adalah sia-sia.
Menurut Susanto, memahami Islam dengan kandungan ajaran moralitasnya perlu dilacak secara historis bagaimana konstruksi bangunan pemikiran Islam ketika Nabi Muhammad mengembangkan Islam pada saat periode Makkah atau qabla hijrah (Susanto, 2005). Hal ini penting agar kita mampu menangkap pesan-pesan moral Islam dengan baik. Bagi sebagian besar masyarakat Muslim, konstruksi pemahaman tentang Islam selalu dirujuk pada produk aturan syariat yang didirikan Nabi pada saat beliau sudah menetap di kota Madinah (ba’da hijrah). Kita sering melupakan prosesi sejarah di mana Islam sebenarnya terkonstruksi melalui sebuah proses yang bertahap dan disesuaikan dengan konteks zaman pada saat itu yaitu periode Makkah dan Madinah.
5.      Rekonstruksi Pendidikan Agama di Sekolah
Ilmu pendidikan (pedagogy) termasuk di dalamnya pedagogy di bidang pendidikan agama adalah sebagai sebuah science memiliki kebenaran ilmiah ralatif, dan sebuah teknologi memiliki ketepatan yang tentatif. Problematika di bidang pendidikan dan keagamaan yang terus berkembang mengharuskan adanya paradigma baru, teori baru dan metode-metode baru untuk menggantikan paradigma, teori dan metode lama yang mungkin tidak relevan atau tidak fungsional lagi untuk memecahkan problematika baru yang lebih kompleks dan kualitatif. Atas dasar itulah diperlukan pembaharuan pemikiran, pengkajian dan penelitian terhadap pendidikan Islam untuk melakukan rekonstruksi mulai aspek teologisnya, filisofisnya, substantifnya, metodologinya dan sistem pembelajarannya.
6.      Aspek Metodologis
Statemen bijak tersebut menggambarkan betapa pentingnya metodologi pendidikan, lebih penting lagi adalah peran guru yang sangat menentukan kejayaan dalam proses pembelajaran, dan di atas semuanya, murid adalah faktor yang paling penting.
Dalam praktek sering dijumpai, sebuah mata pelajaran yang sulit menjadi menyenangkan karena faktor guru, demikian juga sebaliknya. Guru dan metode yang digunakan sangat menentukan keefektifan proses pembelajaran. Kritik yang berkembang bahwa pembelajaran PAI dianggap kurang menarik minat siswa perlu dicermati dari aspek metodologi pembelajaran yang digunakan dan terutama peran guru di dalamnya, dan bagaimana guru menempatkan murid dalam posisi subyek dan sentral dalam pembelajaran
7.      Aspek Etika dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Persoalan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah persoalan fundamental dan serius bagi umat Islam maupun bagi bangsa dan Negara Indonesia, mengingat umat Islam adalah warga bangsa mayoritas di Negara ini, dan bangsa Indonesia adalah bangsa Muslim terbesar di dunia. Permasalahan yang dikemukakan dalam tulisan ini, dan melalui PAI diharapkan dapat memberikan kontribusi pemecahannya meliputi: Bentuk etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Etika sesama warga bangsa, etika terhadap negara, etika terhadap pemimpin bangsa, masalah nasionalisme dan patriotisme [10].
Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa agama Islam yang indah dan bagus dari berbagai aspek dan ajarannya, tetapi keindahan Islam itu seringkali dibajak oleh penganutnya itu sendiri, sehingga melalui pendidikan agama Islam di sekolah diharapkan keindahan Islam itu terpencar baik dalam pemikiran maupun tindakan.
F.     Simpulan
Berdasarkan dari beberapa pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemikrian Islam zaman Nabi, Sahabat dan Tabi’in adalah sebagai berikut :
1.      Tidak adanya perbedaan pemikiran pada zaman Nabi, karena setiap persoalan tentang perbedaan pemahaman selalu diatasi oleh beliau, sehingga Nabi Muhammad saw sebagai sentral ilmu. Sedangkan zaman sahabat banyaknya pemikiran perbedaan atau berbeda pemahaman, akan tetapi sahabat selalu merujuk kepada Nabi untuk mencari solusinya dengan persoalan yang mereka hadapi. 
2.      Pada periode khulafa-khulaf terdapat perbedaan atau pemahaman, seperti; khulafa Rasyidin terdapat perbedaan pendapat yang berkaitan dengan teologi Islam, khulafa ‘Ustman terjadi perpecahan politik di kalangan umat Islam, Bani Umayah terjadi perluasan wilayah Islam sehingga membawa konsekwensi penyerapan tradisi-tradisi non-Islam dalam budaya dan peradaban Islam. Dan Bani ‘Abbas terjadi usaha-usaha ilmiah yang antara lain adalah penterjemahan filsafat Yunani kedalam bahasa Arab.
3.      Muhammad saw menerima wahyu dari Allah pada saat dia berada dalam Gua Hira pada hari Jumat 17 Ramadan tahun ketiga belas sebelum hijrah bertepatan dengan tahun 610 M. Malaikat Jibril muncul dihadapannya, menyampaikan wahyu Allah yang pertama, sebagaimana Firman Allah (QS. Al-‘Alaq : 1-5).
4.      Islam dimulai dengan ajaran Muhammad saw., di tempat kelahirannya Mekkah; sifat-sifat yang menjadi ciri agama baru ini dikembangkan setelah beliau pindah ke Madinah dalam tahun 622 M.
5.      Ada 2 faktor memicu perkembangan permasalahan keagamaan, yaitu; (1) Masalah-masalah yang tidak ditemukan pada masa Rasulullah, (2) Permasalahan Interen seperti murtad tersebut, juga di sebabkan hokum Islam mengalammi perkembangan sejalan dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan umat Islam.
6.      Pembentukan body of knowledge Islam, meliputi; hakikat pendidikan agama Islam, pendidikan sebagai penebar rahmat dan anti kekerasan, kajian tentang etika dan moral, Islam agama etis dan moralitas, rekonstruksi pendidikan agama di Sekolah, aspek metodologis, dan aspek etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Daftar Rujukan

Depag RI. 2004. Al-Qur’an dan Terjemahan: Al-Jumanul ‘Ali Seuntai Mutiara Yang Maha Luhur. CV. Penerbit J-ART.

Badri Yatim, 2010. Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II.  Jakarta: Rajawali Pers.

http://mufeecrf.blogspot.com/2009/10/pendidikan-islam-pada-masa-rasulullah. html, diakses 13 Oktober 2012.



Tobroni.staff.umm.ac.id/download-as-doc/staff_blog_article_23.doc di akses 14 Oktober 2012.



[1] http://mufeecrf.blogspot.com/2009/10/pendidikan-islam-pada-masa-rasulullah. html, diakses Oktober 2012.
[2] Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II.  Jakarta: Rajawali Pers. 2010, h. 16
[3] Depag RI. Al-Qur’an dan Terjemahan: Al-Jumanul ‘Ali Seuntai Mutiara Yang Maha Luhur. CV. Penerbit J-ART, 2004, (QS. Al-‘Alaq : 1-5).
[4] Depag RI. Al-Qur’an dan Terjemahan: Al-Jumanul ‘Ali Seuntai Mutiara Yang Maha Luhur. CV. Penerbit J-ART, 2004, (QS. al-Muddatsitsir: 1-7).
[5] Ibid, h. 20
[6] http://mufeecrf.blogspot.com/2009/10/Urgensi Kenabian Muhammad Saw. Bagi Kemanusiaan.htm, di akses 13 Oktober 2012
[10] Tobroni.staff.umm.ac.id/download-as-doc/staff_blog_article_23.doc di akses 14 Oktober 2012