Pemikiran
Islam Zaman Nabi, Sahabat dan Tabi’in
A. Pendahuluan
Pada zaman Nabi Muhammad saw, pemikiran Islam
masih murni karena mendasar pada Rasulullah saw. Pada periode ini tidak
ada perselisihan pendapat dalam dasar-dasar ataupun kaidah-kaidah teologis.
Pemikiran ini kemudian disebarkan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya.
Pemikiran pada fase ini masih murni, hal ini dikarenakan pemikiran Islam tersebut
hanya bersumber pada al-Qur’an dan Rasulullah, pemikiran Islam fase ini
disandarkan pada kemurnian akhlak Rasulullah dan utamanya wahyu. Jadi tidak ada
pertentangan, karena di setiap persoalan langsung diajukan atau diserahkan
kepada Rasulullah Saw. Sehingga Nabi Muhammad Saw menjadi sentral ilmu
pengetahuan.
Setelah Nabi Muhammad saw wafat, periode
ini perkembangan pemikiran Teologi dalam Islam dapat dibagi dalam 4 periode: (1)
Khulafa al-Rasyidin sebelum Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan juga belum terjadi
perbedaan pendapat dalam teologi Islam, hal ini disebabkan oleh praktek teologi
Islam langsung didasarkan pada al-Qur’an dan Hadis tanpa pentakwilan atas
nash-nashnya. (2) Khalifah ‘Utsman terjadi perpecahan politik dalam tubuh umat Islam,
sehingga berdampak pada penafsiran Alqur’an dan Hadis menurut selera
masing-masing golongan, bahkan sebagian melakukan pemalsuan terhadap Hadis
untuk mendukung keberadaan dan kebenaran kelompok tertentu. (3) Bani
Umayah perluasan wilayah Islam membawa konsekwensi penyerapan
tradisi-tradisi non Islam dalam budaya dan peradaban Islam. Berbagai aliran
yang muncul pada masa akhir Khulafa al-Rasyidin semakin memuncak. Pada masa ini
segolongan umat Islam telah berbeda pendapat tentang qadar dan istiţa‘ah.
Aliran-aliran yang muncul dalam periode ini antara lain: Qadariyah, Jabariah,
Khawarij, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan Mu’tazilah. (4) Bani ‘Abbas terjadi
usaha-usaha ilmiah yang antara lain adalah penterjemahan filsafat Yunani
kedalam bahasa Arab[1].
Setelah Bani ‘Abbas pengikut-pengikut
Abu al-Hasan al-Asy‘ari mengintegrasikan filsafat dan kalam dalam
pandangan-pandangan mereka seperti al-Baidawi dalam kitab al-Ţawali dan
‘Abduddin al-Ijy dengan kitabnya al-Mawaqif keadaan ini berlangsung
sampai awal abad ke 8 Hijriah yakni saat Taqiyuddin IbnuTaimiyah dari Damaskus
menentang urusan yang berlebih- lebihan dari pihak-pihak yang mencampur baurkan
filsafat dengan kalam, atau menentang usaha-usaha yang memasukkan
prinsip-prinsip filsafat dalam aqidah Islamiyah.
Ibnu Taimiyah dikenal sebagai pembela
aliran salaf (sahabat, tabi’in, dan imam-imam mujtahidin) dan membantah
pendirian-pendirian golongan-golongan al-Asy’ariyah dan lain-lain. Jalan yang
ditempuh oleh Ibnu Taimiyah ini dilanjutkan oleh seorang muridnya yang
terkemuka, yaitu Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Perkembangan pemikiran teologi Islam
kemudian mengalami kefakuman, yang ada hanya terbatas upaya-upaya penjelasan
ma’na-ma’na lafadz dan ibarat-ibarat dari kitab-kitab peninggalan lama.
Gerakan permurnian teologi Islam kemudian
mengalami kemajuan kembali ditangan Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani
yang kemudian dilanjutkan oleh al-Said Rasyid Ridla. Usaha-usaha mereka
kemudian berhasil membangun kembali ilmu-ilmu agama dan timbullah jiwa baru
yang cenderung kepada mempelajari kitab-kitab Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya.
Nabi Muhammad saw adalah anggota Bani
Hasyim, suatu kabilah yang kurang berkuasa dalam suku Quraisy. Nabi
Muhammad saw lahir pada keluarga yang terhormat dan relatif miskin. Ayahnya
bernama Abdullah bin Abdul Muthalib, seorang kepala suku Quraisy yang benar
pengaruhnya. Ibunya adalah Aminah Binti Wahab dari Bani Zuhrah. Tahun kelahiran
Nabi Muhammad itu pada tanggal 12 Rabiulawal dikenal dengan nama tahun gajah atau
tanggal 20 April tahun 570 M[2].
Kenapa dinamakan demikian, karena pada tahun itu pasukan Abraham dan kerajaan
Habsyi (Ethopia), dengan menunggang gajah menyerbu Mekkah untuk menghacurkan
Ka’bah. Sehingga tahun kelahiran Nabi Muhammad saw dikenal dengan sebutan tahun
gajah.
Muhammad lahir dalam keadaan yatim
karena ayahnya setelah meninggal dunia sejak tiga bulan beliau menikahi Aminah,
kemudian Muhammad dibesarkan oleh ibu pengasuh Halimah Sa’diyah, dalam
asuhannyalah Muhammad dibesarkan selama usia empat tahun. Setelah itu, kurang
lebih dari dua tahun beliau diasuh oleh ibu kandungnya. Beberapa tahun silam
lebih kurang enam tahun beliau menjadi yatim piatu.
Dalam usai muda, Muhammad hidup sebagai
pengembala kambing keluarganya dan kambing penduduk Mekkah. Melalui
kegiatan-kegiatan pengembalaan ini beliau menemukan tempat untuk berpikir dan
merenung. Pemikiran dan perenungan ini membuatnya jauh dari segala pemikiran
nafsu duniawi. Sehingga ia terhindar dari berbagai macam noda, karena sejak itu
ia sudah dijuluki al-amin, orang yang
terpercaya.
Menjelang usianya empat puluh tahun, dia
memisahkan diri dari kegaulauan masyarakat, berkontemplasi ke gua Hira, tidak
jauh di Utara Mekkah. Muhammad sedang berada dalam Gua Hira pada hari Jumat 17
Ramadan tahun ketiga belas sebelum hijrah bertepatan dengan tahun 610 M.
Malaikat Jibril muncul dihadapannya, menyampaikan wahyu Allah yang pertama,
sebagaimana Firman Allah: (QS. Al-‘Alaq : 1-5).
Artinya
:
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
yang Menciptakan, dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. bacalah,
dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran
kalam, dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya[3].
Setelah wahyu itu datang, Jibril tidak
muncul lagi untuk beberapa lama, sementara Nabi Muhammad menantikannya dan
selalu datang ke gua Hira’. Dalam keadaan menanti itulah rutun wahyu yang membawa
perintah kepadanya. Sebagaimana firman Allah: (QS. al-Muddatsitsir: 1-7).
Artinya
:
Hai orang yang berkemul (berselimut),
Bangunlah, lalu berilah peringatan, Dan Tuhanmu agungkanlah Dan pakaianmu bersihkanlah, Dan perbuatan
dosa tinggalkanlah, Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh
(balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu,
bersabarlah.[4].
Dengan turunya perintah itu, mulailah
Rasulullah berdakwah. Pertama-tama, beliau melakukannya diam-diam dilingkungan
sendiri dan di kalangan rekan-rekannya. Karena itulah, orang yang pertama kali
menerima dakwahnya adalah keluarga dan sahabat dekatnya[5].
Setelah bebrapa lama dakwah tersebut dilaksanakan secara individual turunlah
perintah agar Nabi menjalankan dakwah secara terbuka.
Ketika Rasulullah tampil di
tengah-tengah kehidupan manusia, beliau langsung memulai proyek perbaikan baru,
untuk memperbaiki kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Untuk itu Rasulullah
Saw selalu berdoa, “Ya Allah perbaikilah agamaku yang merupakan inti urusanku,
perbaikilah duniaku yang merupakan tempat kehidupanku, dan perbaikilah
akhiratku yang merupakan tempat kembaliku[6].”
Rasulullah saw memberikan kepada kita
contoh-contoh mulia, baik sebagai pemuda Islam yang lurus perilakunya dan
terpercaya di antara kaum dan juga kerabatnya, ataupun sebagai da’i kepada
Allah dengan hikmah dan nasehat yang baik, yang mengerahkan segala kemampuan
untuk menyampaikan risalahnya. Juga sebagai kepala negara yang mengatur segala
urusan dengan cerdas dan bijaksana, sebagai suami teladan dan seorang ayah yang
penuh kasih sayang, sebagai panglima perang ang mahir, sebagai negarawan yang
pandai dan jujur, dan sebagai Muslim secara keseluruhan (kaffah) yang dapat
melakukan secara imbang antara kewajiban beribadah kepada Allah dan bergaul
dengan keluarga dan sahabatnya dengan baik.
C. Zaman Perintisan Islam
Islam dimulai dengan ajaran Muhammad
saw, di tempat kelahirannya Mekkah; sifat-sifat yang menjadi ciri agama baru
ini dikembangkan setelah beliau pindah ke Madinah dalam tahun 622 M. Sebelumnya
beliau wafat sepuluh tahun kemudian, telah jelaslah sudah bahwa Islam bukannya
semata-mata merupakan suatu badan kepercayaan agama pribadi, akan tetapi Islam
meliputi pembinaan suatu masyarakat merdeka, dengan sistem sendiri tentang
pemerintahan, hukum, dan Lembaga Generasi Muslimin pertama, telah menginsafi
bahwa Hijrah adalah satu titik perubahan penting dalam sejarah. Merekalah yang
menetapkan tahun 622 M sebagai permulaan takwin Islam baru[7].
Dengan pemerintah yang kuat, cerdas, dan
satu kepercayaan yang menggelorakan semangat penganut-penganut dan
tentara-tentara dalam waktu yang tidak lama, masyarakat baru ini menguasai
seluruh Arabia Barat dan mencari dunia baru untuk ditundukkan.
Kemunduran pada wafat Muhammad saw,
gelombang penaklukan bergerak dengan cepat di Arabia bagian Utara dan Timur,
berani menyerang kubu-kubu pertahanan di perbatasan kerajaan Romawi Timur di
Syirq al-Ardun dan kerajaan Persia di Irak Selatan. Angkatan-angkatan perang
kedua kerajaan raksasa ini, karena perang tidak henti-hentinya mereka telah
kehabisan kekuatan, dikalahkan satu persatu dalam suatu rangkaian operasi cepat
dan cemerlang. Dalam waktu enam tahun sesudah Muhammad saw wafat. Siria dan
Irak diharuskan membayar upeti kepada Madinah, dan empat tahun kemudian Mesir
digabungkan pada kerajaan Islam baru.
Kemenangan-kemenangan yang mengagumkan
tadi, mendahului kemenangan yang lebih besar lagi akan membawa orang Arab dalam
waktu kurang dari satu abad ke Maroko, Spanyol, Perancis, pintu-pintu kota
Konstantinopel, jauh ke Asia Tengah sampai ke Sungai Indus, membuktikan sifat
Islam sebagai suatu kepercayaan kuat, insaf akan harga diri, dan jaya. Sifat
ini mengakibatkan pendirian yang tidak kenal menyerah dan memusuhi segala yang
ada diluarnya, tetapi menunjukkan toleransi, kesabaran hati yang luas dalam
masyarakat, keseganan menuntut orang dari golongan lain, dan kebesaran hati
mereka dalam waktu kegelapan.
Pada tahun 660 M. Ibu kota Kerajaan Arab
dipindahkan ke Damsyik, tempat kedudukan baru Khalifah Bani Umayah. Sedangkan
Madinah tetap merupakan pusat pelajaran agama Islam; pemerintah dan kehidupan
umum kerajaan dipengaruhi oleh adat-istiadat Yunani Rumawi Timur. Tingkat
pertama saling pengaruh-mempengaruhi dengan peradaban yang lebih tua ini tidak
hanya dilambangkan dengan dua buah monumen, yang indah sekali dari zaman Bani
Umayahh ialah Mesjid Raya di Damsyik dan Mesjid Al-Aqsa di Darusalam, akan
tetapi kemunculan tiba-tiba cara aliran-aliran baru dan pendapat yang berlawanan
dengan paham resmi di “propinsi-propinsi baru.” Akibat paling akhir dari
pertumbuhan demikian ialah perpecahan antara lembaga-lembaga agama dan duniawi
dalam masyarakat Islam. Pembelahan ini merusakkan azas duniawi Bani Umayah, dan
ditambah dengan rasa ketidakpuasan para warga negara bukan Arab, dan pecah
perang saudara diantara suku, Arab, menyebabkan jatuhnya tahun 750 M.
Dalam hal itu, perselisihan tadi
menjelaskan bahwa dalam abad yang lampau sejak wafat Muhammad saw. Kebudayaan agama
Islam telah mengalami perkembangan dan konsolidasi yang luar biasa baik, di
dalam maupun di luar Arabia. Seorang guru agama di satu pihak menunjukkan
perkembangan kebatinan pada tingkat tertinggi. Ia menyatakan inti sari yang
penting dan menghidupkan itu dengan kepribadiannya dan keyakinannya sehingga
tampak pada penganutnya sebagai wahyu kebenaran.
D. Berkembangnya Permasalahan
Keagamaan
Perkembangan permasalahan keagamaan
merupakan permasalahan yang tidak akan henti-hentinya di dunia Islam. Berkemangannya
permasalahan keagamaan munculnya perbedaan pemahaman antara kalangan beragama
itu sendiri. Pada hal sudah kita ketahui bersama bahwa ajaran-ajaran agama
Islam sudah memberi petunjuk kepada jalan yang lurus dan kebaikan, Agama yang
akan memberi petunjuk kepada seorang hamba dalam masalah aqidahnya, akhlaknya,
hubungan sosialnya, arahan-arahan supaya di tempuh dan permulaan dasar dalam
berfikir serta segala macam kegiatan yang akan mengantarkan mereka untuk
mencapai manfaat bagi kehidupan dunia dan akhiratnya.
Dan penjelasan bahwa tidak ada cara lain
untuk bisa memperbaiki urusan umat manusia dengan perbaikan yang sempurna
melainkan harus dengan cara dan metodenya, serta penjelasan bahwa seluruh
aturan hukum yang menyelisihi agama Islam tidak akan mungkin bisa berdiri lurus,
baik dalam urusan agama maupun dunianya melainkan jika mau mempelajari
ajaran-ajaran agama Islam terlebih dahulu.
Ada
beberapa faktor yang menjadi penghabat berkembangannya permasalah keagamaan
adalah sebagai berikut:
1.
Terdapatnya masalah-masalah yang
tidak ditemukan pada masa Rasulullah. Seperti masalah khilafah; apa
syarat-syaratnya, batasan-batasannya? juga orang yang tidak mau berzakat,
apakah murtad atau berdosa.
2.
Disamping permasalahan interen seperti
murtad tersebut, juga di sebabkan hukum Islam mengalami perkembangan sejalan
dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan umat Islam dan seiring dengan
perubahan kondisi sosial pada masa itu[8].
Selain
itu, dalam berijtihad para sahabat tidak jarang berbeda antara satu dengan yang
lain. Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:
1.
Lingkungan tempat mereka hidup dan
menetap berbeda-beda. Demikian pula kemaslahatan dan kebutuhan yang menjadi
dasar pertimbangan dalam menerapkan hukum bertingkat-tingkat juga, misalnya
Abdullah bin Umar yang tinggal dan menetap di Madinah tidak mengalami seperti
yang dialami oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan di syam. Demikian juga tidak
mengalami seperti apa yang dialami oleh Abdullah bin Mas’ud yang hidup dan
menetap di Kuffah.
2.
Perbedaan tingkat pemahaman terhadap bahasa.
Ada orang yang paham dengan bahasanya sendiri, istilah-istilah asing yang ada
dan cara pemakaiannya, tetapi ada juga yang tidak bisa. Misalnya, yang
ditawarkan oleh Umar bin al-Khaththab ketika ia membaca firman Allah dalam
khutbahnya, atau Allah akan mengadzab mereka disebabkan mereka menghina
(takhawwufin), kemudian Umar bertanya kepada para hadirin tentang makna
takhawwifin, “apa pendapat kalian tentang ayat ini dan apa arti takhawwuf itu?”
Lalu berdirilah seseorang yang sudah lanjut usia dari kabilah Huzail dan
berkata: “ ini bahasa kami dan takhawwuf artinya menghina (tanaqqush)”, Umar
berkata, “apakah orang Arab tahu ini dalam sya’ir mereka?” Ia menjawab, “ya”,
dan ia pun menyebutkan sebuah bait sya’ir untuk memperkuat ucapannya. Umar
berkata: “Jagalah sya’ir kalian dan kalian tidak akan tersesat.” Para Sahabat
bertanya: “Apa itu sya’ir (diwan) kami?” Umar menjawab: “Sya’ir Jahiliyah,
sebab didalamnya ada penafsiran untuk kitab kalian.”
3.
Perbedaan dalam menafsirkan ayat
al-Quran karena kebanyakan al-Quran berisi ayat-ayat dhanni (dalil yang
memiliki makna lebih dari satu) sebagaimana firman Allah (QS Al-Baqarah ayat
228). Dalam memahami lafal quru’ yang terdapat didalamnya para sahabat berbeda
pendapat mengenai masa tunggu (iddah) wanita yang diceraikan suaminya apakah
tiga kali bersih atau tiga kali haid?
4.
Perbedaan penerimaan hadits karena
setiap sahabat memeroleh jumlah hadits yang tidak sama dan sunnah Nabi saw,
yang telah tersebar di kalangan umat Islam belum terbukukan dan belum ada
consensus untuk menghimpun sunnah dalam satu koleksi yang dijadikan sebagai
pedoman bersama[9].
Namun dengan demikian perbedaan tersebut
tidak menimbulkan perpecahan di kalangan para sahabat. Perbedaan itu ditanggapi
dengan bijaksana. Perbedaan dianggap sebagai sesuatu yang sudah biasa (fitrah)
dan rahmat bagi manusia. Hal inilah yang patut kita teladani dalam menyikapi
segala perbedaan.
E. Pembentukan Body Of Knowledge Islam
Bila berbicara tentang pembentukan
pengetahuan Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bahkan
juga krisis etika dan moral dalam beragama lantas muncul pertanyaan tentang
peranan pendidikan agama Islam dalam membentuk etika dan moral. Perkembangan
permasalahan tersebut sungguh sangat kompleks, sedangkan tugas pokok pendidikan
agama adalah membentuk anak didik memiliki moralitas dan akhlak budi pekerti
yang mulia.
Kondisi ini menuntut semua pihak untuk
mengambil peran masing-masing guna menyelamatkan generasi muda dan bangsa. Kaum
agamawan sebagai penjaga etika dan moral masyarakat di dalamnya guru agama
harus diberdayakan agar dapat mengambil peran secara signifikan. Pendidikan
agama mempunyai peran penting yang harus ditingkatkan mutu dan relevansinya
bagi upaya pembangunan moral bangsa seutuhnya.
Menurut Tobroni, mengatakan bahwa dalam
pembentukan body of knowledge Islam,
meliputi;
1.
Hakikat Pendidikan Agama Islam;
Pendidikan
adalah persoalan yang paling strategis bagi kehidupan manusia baik dalam
perspektif individu, masyarakat dan bangsa. Misi utama yang diemban oleh
pendidikan Agama Islam tidak lain adalah misi Islam itu sendiri yaitu rahmatan
lil’alamin (rahmat bagi seluruh alam) dan membangun akhlak dan peradaban
yang agung (al-Hadis).
2.
Pendidiksn sebagai penebar rahmat dan
anti kekerasan;
Islam dalam wataknya
yang asli adalah anti kekerasan. Islam mengajarkan agar manusia memiliki sikap
sosial luhur: pengabdian menggantikan kekuasaan, pelayanan menggantikan
dominasi, pengampunan menggantikan permusuhan, cinta kasih menggantikan
kebencian, derma menggantikan keserakahan, keadilan menggantikan kerusakan, dan
kesabaran menggantikan kekerasan.
Watak
agama yang asli sebagaimana ditunjukkan oleh Rasulullah ketika beliau hijrah ke
Thaif (80 km sebelah tenggara dari Makkah). Sesampai di Thaif Beliau
disalahpahami oleh penduduk dan dilempari batu sampai berlumuran darah. Beliau
tidak mengutuk mereka melainkan justru mendoakan petunjuk, dan rahmat bagi
mereka. Demikian juga ketika terjadi perang Uhud, Rasulullah tidak membenci
para pemanah yang tidak setia pada perintah beliau yang mengakibatkan
kekalahan, melainkan beliau berlaku lemah lembut dan tetap mengayomi mereka (QS
Ali Imran/3:159).
3.
Kajian tentang Etika dan Moral
Kehadiran
Islam di muka bumi adalah sebagai pedoman hidup manusia dan untuk memberikan
solusi yang tegas terhadap berbagai persoalan kemanusiaan. Salah satu persoalan
kemanusiaan yang perlu mendapat perhatian besar dari umat Islam adalah
persoalan etika sosial persaudaraan dan perdamaian.
Namun
menurut Susanto, tema ini kurang mendapatkan perhatian secara memadai dalam
hazanah pemikiran Islam. Dan sekiranya ada, umumnya membahas etika individual,
yaitu bagaimana memperbaiki diri dan kepribadian dalam berkata, bersikap, dan
berbuat terutama dikaji dalam perspektif
fiqh (Susanto, 2005) dan akhlak tasawuf. Karena itu tema tentang etika
sosial persaudaraan dan perdamaian yang dikaji dalam perspektif filosofis dan sosialisasi serta
implementasinya dalam pendidikan menjadi sangat penting. Dalam tulisan ini istilah etika digunakan dalam
pengertian sebagai kajian tentang nilai baik dan buruk. ”etika” adalah cabang
filsafat yang mengkaji tentang baik dan buruk, sedangkan ”moral” adalah nilai
baik atau buruk menurut suatu masyarakat. Dengan kata lain, ”moral” adalah
etika terapan.
4.
Islam Agama Etis dan Moralitas
Etika dan moralitas adalah puncak nilai keberagamaan seorang muslim. Hal
ini sejalan dengan Hadis Nabi Muhammad SAW yang mengatakan bahwa beliau diutus
untuk menyempurnakan keagungan. Berislam yang tidak membuahkan akhlak adalah
sia-sia.
Menurut Susanto, memahami
Islam dengan kandungan ajaran moralitasnya perlu dilacak secara historis
bagaimana konstruksi bangunan pemikiran Islam ketika Nabi Muhammad
mengembangkan Islam pada saat periode Makkah atau qabla hijrah (Susanto, 2005). Hal ini penting agar kita mampu
menangkap pesan-pesan moral Islam dengan baik. Bagi sebagian besar masyarakat
Muslim, konstruksi pemahaman tentang Islam selalu dirujuk pada produk aturan
syariat yang didirikan Nabi pada saat beliau sudah menetap di kota Madinah
(ba’da hijrah). Kita sering melupakan prosesi sejarah di mana Islam sebenarnya
terkonstruksi melalui sebuah proses yang bertahap dan disesuaikan dengan
konteks zaman pada saat itu yaitu periode Makkah dan Madinah.
5.
Rekonstruksi Pendidikan Agama di Sekolah
Ilmu pendidikan (pedagogy) termasuk di dalamnya pedagogy di
bidang pendidikan agama adalah sebagai sebuah science memiliki kebenaran ilmiah
ralatif, dan sebuah teknologi memiliki ketepatan yang tentatif. Problematika di
bidang pendidikan dan keagamaan yang terus berkembang mengharuskan adanya
paradigma baru, teori baru dan metode-metode baru untuk menggantikan paradigma,
teori dan metode lama yang mungkin tidak relevan atau tidak fungsional lagi
untuk memecahkan problematika baru yang lebih kompleks dan kualitatif. Atas
dasar itulah diperlukan pembaharuan pemikiran, pengkajian dan penelitian
terhadap pendidikan Islam untuk melakukan rekonstruksi mulai aspek teologisnya,
filisofisnya, substantifnya, metodologinya dan sistem pembelajarannya.
6.
Aspek
Metodologis
Statemen bijak tersebut menggambarkan betapa pentingnya metodologi
pendidikan, lebih penting lagi adalah peran guru yang sangat menentukan
kejayaan dalam proses pembelajaran, dan di atas semuanya, murid adalah faktor
yang paling penting.
Dalam praktek sering dijumpai, sebuah mata pelajaran yang sulit menjadi
menyenangkan karena faktor guru, demikian juga sebaliknya. Guru dan metode yang
digunakan sangat menentukan keefektifan proses pembelajaran. Kritik yang
berkembang bahwa pembelajaran PAI dianggap kurang menarik minat siswa perlu
dicermati dari aspek metodologi pembelajaran yang digunakan dan terutama peran
guru di dalamnya, dan bagaimana guru menempatkan murid dalam posisi subyek dan
sentral dalam pembelajaran
7.
Aspek Etika
dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Persoalan etika dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara adalah persoalan fundamental dan serius bagi
umat Islam maupun bagi bangsa dan Negara Indonesia, mengingat umat Islam adalah
warga bangsa mayoritas di Negara ini, dan bangsa Indonesia adalah bangsa Muslim
terbesar di dunia. Permasalahan yang dikemukakan dalam tulisan ini, dan melalui
PAI diharapkan dapat memberikan kontribusi pemecahannya meliputi: Bentuk etika
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Etika sesama warga bangsa, etika terhadap negara, etika terhadap pemimpin
bangsa, masalah nasionalisme dan patriotisme [10].
Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan
bahwa agama Islam yang indah dan bagus dari berbagai aspek dan ajarannya,
tetapi keindahan Islam itu seringkali dibajak oleh penganutnya itu sendiri,
sehingga melalui pendidikan agama Islam di sekolah diharapkan keindahan Islam
itu terpencar baik dalam pemikiran maupun tindakan.
F. Simpulan
Berdasarkan dari beberapa pembahasan di
atas, dapat disimpulkan bahwa pemikrian Islam zaman Nabi, Sahabat dan Tabi’in
adalah sebagai berikut :
1.
Tidak adanya
perbedaan pemikiran pada zaman Nabi, karena setiap persoalan tentang perbedaan
pemahaman selalu diatasi oleh beliau, sehingga Nabi Muhammad saw sebagai
sentral ilmu. Sedangkan zaman sahabat banyaknya pemikiran perbedaan atau
berbeda pemahaman, akan tetapi sahabat selalu merujuk kepada Nabi untuk mencari
solusinya dengan persoalan yang mereka hadapi.
2.
Pada periode
khulafa-khulaf terdapat perbedaan atau pemahaman, seperti; khulafa Rasyidin
terdapat perbedaan pendapat yang berkaitan dengan teologi Islam, khulafa
‘Ustman terjadi perpecahan politik di kalangan umat Islam, Bani Umayah terjadi
perluasan wilayah Islam sehingga membawa konsekwensi penyerapan tradisi-tradisi
non-Islam dalam budaya dan peradaban Islam. Dan Bani
‘Abbas terjadi usaha-usaha ilmiah yang antara lain adalah penterjemahan
filsafat Yunani kedalam bahasa Arab.
3.
Muhammad saw menerima wahyu dari Allah pada saat dia berada
dalam Gua Hira pada hari Jumat 17 Ramadan tahun ketiga belas sebelum hijrah
bertepatan dengan tahun 610 M. Malaikat Jibril muncul dihadapannya,
menyampaikan wahyu Allah yang pertama, sebagaimana Firman Allah (QS. Al-‘Alaq :
1-5).
4.
Islam dimulai dengan
ajaran Muhammad saw., di tempat kelahirannya Mekkah; sifat-sifat yang menjadi
ciri agama baru ini dikembangkan setelah beliau pindah ke Madinah dalam tahun
622 M.
5.
Ada 2 faktor
memicu perkembangan permasalahan keagamaan, yaitu; (1) Masalah-masalah yang
tidak ditemukan pada masa Rasulullah, (2) Permasalahan Interen seperti murtad
tersebut, juga di sebabkan hokum Islam mengalammi perkembangan sejalan dengan
semakin luasnya wilayah kekuasaan umat Islam.
6.
Pembentukan body
of knowledge Islam, meliputi; hakikat pendidikan agama Islam, pendidikan
sebagai penebar rahmat dan anti kekerasan, kajian tentang etika dan moral,
Islam agama etis dan moralitas, rekonstruksi pendidikan agama di Sekolah, aspek
metodologis, dan aspek etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Daftar Rujukan
Depag
RI. 2004. Al-Qur’an dan Terjemahan:
Al-Jumanul ‘Ali Seuntai Mutiara Yang Maha Luhur. CV. Penerbit J-ART.
Badri Yatim, 2010.
Sejarah Peradaban Islam; Dirasah
Islamiyah II. Jakarta: Rajawali
Pers.
http://mufeecrf.blogspot.com/2009/10/pendidikan-islam-pada-masa-rasulullah.
html, diakses 13 Oktober 2012.
http://3gplus.wordpress.com/2008/04/21/sejarah-perkembangan-islam-di-dunia/
diakses 13 October 2012.
http://aimanberbagi.blogspot.com/2012/.../perkembanan-pemikiran-islam.h... di akses 13 Oktober 2012.
Tobroni.staff.umm.ac.id/download-as-doc/staff_blog_article_23.doc di
akses 14 Oktober 2012.
[1]
http://mufeecrf.blogspot.com/2009/10/pendidikan-islam-pada-masa-rasulullah.
html, diakses Oktober 2012.
[2] Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah
II. Jakarta: Rajawali Pers. 2010, h.
16
[3] Depag RI. Al-Qur’an dan Terjemahan: Al-Jumanul
‘Ali Seuntai Mutiara Yang Maha Luhur. CV. Penerbit J-ART, 2004, (QS. Al-‘Alaq :
1-5).
[4] Depag RI. Al-Qur’an dan Terjemahan: Al-Jumanul
‘Ali Seuntai Mutiara Yang Maha Luhur. CV. Penerbit J-ART, 2004, (QS.
al-Muddatsitsir: 1-7).
[5] Ibid, h. 20
[6] http://mufeecrf.blogspot.com/2009/10/Urgensi
Kenabian Muhammad Saw. Bagi Kemanusiaan.htm, di akses 13 Oktober 2012
[7] http://3gplus.wordpress.com/2008/04/21/sejarah-perkembangan-islam-di-dunia/,
diakses 13 October 2012
[8] http://aimanberbagi.blogspot.com/2012/.../perkembanan-pemikiran-islam.h..., di akses 13 Oktober 2012
[9] http://aimanberbagi.blogspot.com/2012/.../perkembanan-pemikiran-islam.h... di akses 13 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar